makalah agama islam tentang kewarisan atau ahli waris
Thursday, September 27, 2012
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Secara etimologis Mawaris adalah
bentuk jamak dari kata miras (موارث), yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan.
Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah
yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu
berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal
secara syar’i.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris
dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah
meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam
al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkanm istilah Fiqih Mawaris
dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak
menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu
yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro
mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan bagaimanakah pelbagai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu
Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama faradhiyun semakna dengan
lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Jadi disebut
dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan
siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah
(kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan
B. TUJUAN KEWARISAN ISLAM
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam
dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian warisan
dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas, bertujuan agar tidak
terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris. Karena dengan
ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus mengikuti ketentuan
syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun perempuan
mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah hanya laki-laki yang berhak)
sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang berkeadilan berimbang. Dalam
artian masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan porposi beban dan
tanggung jawabnya.
HUKUM DAN SUMBER HUKUM KEWARISAN
A. HUKUM KEWARISAN
Dalam hukum kewarisan terdapat dua
hal, yaitu, hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam dan
hukum mempelajari dan mengajarkannya.
1. Hukum membagi harta warisan
menurut ketentuan syari’at Islam
Bagi umat Islam melaksanakan
peraturan-peraturan syari’at yang telah ditentukan nash yang sharih adalah
suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang
lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk
nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
a. Surat
an-Nisa’ ayat 13 dan 14 :
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang
besar. (QS. An-Nisa’ : 13).
Dan barang siapa yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal
memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa
yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’ : 13-14).
b. Hadis
Rasulullah SAW.
Bagilah harta (warisan) antara
ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan nash al-Quran dan
al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan (kewajiban) membagi harta
warisan menurut ketentuan al-Quran dan al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak
kepemilikan melalui kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga
terhadap orang lain yang tidak mendapatkan harta melalui kewarisan dapat
diberikan melalui wasiat atau hibah. Demikian pula bagi ahli waris yang merasa tidak
membutuhkan dan tidak mau menerima pembagian harta warisan, dapat memberikan
kepada orang lain yang lebih membutuhkan melalui hibah.
Dalam Undang-undang Kewarisan Mesir
adanya ketentuan wasiat wajibah bagi cucu perempuan dari garis perempuan yang
tidak memperoleh harta warisan karena sebagai zawil arham. Kemudian dalam
Kompilasi Hukum Islam ditemukan pula ketentuan wasiat wajibah bagi orang tua
angkat atau anak angkat. Hal tersebut menurut penulis langkah yang tepat demi
mewujudkan keadilan dengan tanpa menyalahi ketentuan syari’at.
2. Hukum mempelajari dan
mengajarkannya.
Islam mengatur ketentuan pembagian
harta waris secara rinci agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikaian
antara ahli waris. Hal tersebut seringkali terjadi jika seseorang meninggal
dunia, menimbulkan perselisihan bagi ahli warisnya dalam pembagian harta,
bahkan tidak jarang terjadi pertikaian. Seabagai antisipasi hal tersebut, maka
ditentukan secara rinci tentang pembagian harta warisan sebagai pedoman.
Dengan telah ditetapkannya pembagian
harta warisan dalam Islam, maka harus ada orang yang mempelajari dan
mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang telah mempelajarinya dapat
merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi umat Islam.
Para ulama berpendapat bahwa
mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah wajib kifayah. Dalam artian
apabila telah ada sebagian orang yang melakukannya (memenuhinya) maka dapat
menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang
melaksanakan kewajiban tersebut, maka semua orang menanggung dosa.
Dalam hadis Nabi dinyatakan ;
Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah
ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang
bakal terengut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang
bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat
memberikan fatwa kepada mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
Berdasarkan hadis tersebut,
ditempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dengan perintah
mempelajari dan mengajarkan al-Quran, menandakan betapa pentingnya ilmu faraidh
tersebut. Hal tersebut sebagai upaya mewujudkan pembagian warisan yang
berkeadilan dan menurut ketentuan syariat Islam. Terlebih kecenderungan manusia
yang materialistik, maka ketentuan pembagian warisan tersebut sangat penting
agar terhindarnya konflik dan perselisihan.
B. SUMBER HUKUM KEWARISAN
Hukum kewarisan bersumber pada
al-Quran dan al-Hadis yang menjelaskan ketentuan hukum kewarisan.
1. Al-Quran
a. Surat an-Nisa’ ayat 7 :
Bagi laki-laki ada bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa’ : 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik
laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi harta yang ditinggalkan ibu-bapa
maupun kerabatnya. Hal tersebut menghapuskan tradisi yang berlaku pada masa
jahiliyah, yang berhak menerima warisan hanya laki-laki yang dewasa saja.
b. Surat al-Ahzab ayat 6 :
Nabi itu (hendaknya) lebih utama
bagi orang-orang mukmin dari mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu
mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama), adalah yang demikian itu telah tertulis dalam
kitab (Allah). (Al-Ahzab : 6).
Berdasarkan ayat tersebut,
orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih berhak mewarisi harta
seseorang yang meninggal dunia daripada orang lain. Tetapi tidak menutup
kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada orang lain (seagama) dengan melalui
hibah atau wasiat.
c. Surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :
Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. (An-Nisa’ : 11).
Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para
isteri meperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
(An-Nisa’ : 12).
Kedua ayat tersebut menjelaskan
secara rinci bagian-bagian ahli waris baik yang termasuk ashabul furudl maupun
ashabah.
Ayat-ayat lain yang berhubungan
dengan kewarisan adalah
al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.
al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.
2. Al-Hadis
a. Riwayat Bukhari dan Muslim.
Nabi SAW. bersabda; Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya
untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya). (H.R. Bukhari
dan Muslim).
b. Hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim
Orang muslim tidak berhak mewarisi
orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim. (H.R. Bukhari
dan Muslim).
c. Riwayat Bukhari dan Muslim dari
Sa’ad ibn Abi Waqqas tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat.
Rasulullah SAW. datang menjengukku
pada tahun haji wada’ diwaktu aku menderita sakit keras. Lalu aku bertanya
kepada beliau,” wahai Rasulullah, aku sedang menderita sakit keras, bagaimana
pendapatmu, aku ini orang berada sementara tidak ada yang akan mewarisi hartaku
selain seorang anak perempuan, apakah aku sedekah (wasiat) kan dua peretiga
hartaku? “Jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “setengah”? “jangan” jawab Rasul. Aku
bertanya “sepertiga”? Rasul menjawab “sepertiga” sepertiga adalah banyak atau
besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup
adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang
meminta-minta kepada orang. (H.R. Bukhari dan Muslim).
ASAS KEWARISAN ISLAM
Berdasarkan nash baik al-Quran
maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan asas-asas kewarisan Islam sebagai
berikut :
A. ASAS IJBARI
Dalam hukum Islam peralihan harta
seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari. Kata
ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan
sesuatu diluar kehendak sendiri.
Hal tersebut berarti bahwa peralihan
harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya berlangsung dengan
sendirinya berdasarkan ketetapan Allah, tanpa bergantung kepada kepada ahli
waris atau pewaris.
Adapun asas ijbari dalam kewarisan
Islam terjadi dalam hal :
a. Segi peralihan harta
b. Segi jumlah pembagian
c. Segi kepada siapa harta itu
beralih.
B. ASAS BILATERAL
Asas bilateral dalam kewarisan
Islam, berarti bahwa seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat,
yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini
dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7.
Amir syarifuddin menyatakan, bahwa
seorang laki-laki berhak menerima warisan dari pihak ayahnya juga dari pihak
ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak mendapat warisan dari kedua pihak
orang tuanya.
Demikian pula dapat dilihat dari
surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda maupun janda saling mewarisi, saudara
laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya. Kemudian
sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33, menurut Hazairin bahwa, cucu
baik laki-laki maupun perempuan mewarisi menggantikan ibu atau bapaknya.
C. ASAS INDIVIDUAL
Asas individual artinya ialah, dalam
system hukum kewarisan Islam, harta peninggalan yang ditinggalkan dibagi secara
individual secara pribadi langsung kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum
kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa’ ayat 11, yaitu ;
a. Bahwa anak laki-laki mendapat
bagian dua kali dari bagian anak perempuan
b. Bila anak perempuan itu dua orang
atau lebih baginya dua pertiga dari harta peninggalan
c. Dan jika perempuan itu hanya
seorang saja maka baginya seperdua harta peninggalan.
Pembagian secara individual ini
didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai
kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan kewajiban, yang dalam istilah
ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”. Akan tetapi berlaku pula ketentuan lain
yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqih disebut “ahliyatul ada”.
Dalam artian pembagian harta tersebut diberikan kepada seseorang secara
individual, dengan catatan adanya kecakapan orang tersebut.
D. Asas keadilan berimbang
Hak waris yang diterima oleh ahli
waris pada hakikatnya merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada
keluarganya (ahli waris), sehingga kadar yang diterima oleh ahli waris
berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang.
Seorang laki-laki memikul tanggung
jawab yang lebih berat dari perempuan, sehingga suatu hal yang wajar jika
bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung jawab tersebut dari ayat al-Quran
:
1) Al-Baqarah 23 :
Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) An-Nisa’ 34 :
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihi sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena itu mereka telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka….(Q.S. An-Nisa’ : 34).
3) Ath-Thalaq 6 :
Tempatkanlah mereka (para isteri)
dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmua….(Ath-Thalaq : 6).
E. ASAS KEWARISAN SEMATA AKIBAT
KEMATIAN
Hukum kewarisan Islam menetapkan
bahwa peralihan harta melalui cara kewarisan, dilakukan setelah orang yang
mempunyai harta meninggal. Hal tersebut dapat dikaji dari penggunaan kata-kata
warasa.
Hubungan kewarisan Islam dengan
kewarisan Nasional di Indonesia sampai saat ini belum terdapat suatu kesatuan
hukum kewarisan yang dapat diterapkan secara universal bagi seluruh warga
negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan yang diterapkan bagi warga
negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan dari warga negara.
Penggolongan tersebut adalah :
1) Bagi warga negara Indonesia asli
Bagi warga negara Indonesia asli
pada prinsipnya berlaku Hukum Adat. Yang dalam hal ini sudah barang tentu
terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan
tersebut karena adanya perbedaan sifat kekeluargaan mereka masing-masing.
Sifat kekeluargaan (keturunan) dapat
dibedakan dalam tiga macam, yaitu ;
a. Sistem Patrilinial, yaitu ditarik
menurut garis bapak
b. Sistem Matrilinial, yang ditarik
menurut garis ibu.
c. Sistem Parental, yang ditarik
menurut garis ibu-bapak.
2) Bagi warga negara golongan
Indonesia asli yang beragama Islam
Bagi warga negara Indonesia asli
yang beragama Islam, selain dipengaruhi hukum kewarisan adat, juga banyak
dipengaruhi oleh kewarisan Islam.
Berkaitan dengan hal tersbut,
hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di masing-masing daerah (hukum kewarisan
adat) harus disesuaikan dan berpedoman pada kewarisan Islam. Sebab umat Islam
mengatur segala aspek kehidupan bagi umatnya.
3) Bagi orang-orang Arab
Pada umumnya seluruh hukum kewarisan
Islam berlaku bagi orang-orang Arab di Indonesia.
4) Bagi orang Tionghoa da Eropa
5) Bagi orang Tionghoa dan Eropa,
bagi mereka berlaku hukum warisan yang termuat dalam Burgelijk Wetboek (BW)
buku II pasal 830 sampai dengan pasal 1130.
UNSUR-UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN
A. UNSUR KEWARISAN
Dalam kewarisan Islam terdapat tiga
unsur (rukun), yaitu :
1. Maurus.
Maurus atau miras adalah harta
peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang
dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang diamaksdukan hal tersebut adalah :
a. Kebendaan yan sifat-sifat yang
mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak,
piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya.
b. Hak-hak kebendaan, seperti
monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas,
sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.
c. Benda-benda yang bukan kebendaan,
seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan
dan sebagainya.
d. Benda-benda yang bersangkutan
dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang digadaikan, benda yang telah
dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah dibayar tetapi barang belum
diterima.
2. Muwaris.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi
harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya.
3. Waris.
Waris, adalah orang yang berhak
mewarisi harta peninggalan muwaris karena mempunyai hubungan kekerabatan baik
karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba
sahaya.
B. SYARAT KEWARISAN
Adapun syarat-syarat terjadinya
pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
1. Matinya muwaris.
Kematian muwaris dibedakan kepada
tiga macam yaitu :
a. Mati haqiqy.
Mati haqiqy, ialah kematian
seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan
alat pembuktian.
b. Mati hukmy.
Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan
adanya vonis hakim. Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak
diketahui domisilinya, maka terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis
telah mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian
informasi keberadaannya secara maksimal.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan).
Mati taqdiry, yaitu orang yang
dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam
dalam sungai dan tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan
dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan
peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak
diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah
meninggal.
2. Hidupnya waris.
Dalam hal ini, para ahli waris yang
benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta
peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan
dibahas secara khusus.
3. Tidak adanya
penghalang-penghalang mewarisi.
Tidak ada penghalang kewariosan,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang menjad penghalang
kewarisan.
SEBAB-SEBAB ADANYA KEWARISAN MENURUT
ISLAM
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada
tiga, yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena
sebab al-wala’.
A. HUBUNGAN KEKERABATAN
Kekerabatan ialah hubungan nasab
antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh
kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat,
karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang tidak dapat
dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai)
maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai
ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal
ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah.
(Q.S. Al-Anfal : 75).
B. HUBUNGAN PERKAWINAN
Hubungan perkawinan yang menyebabkan
terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang
syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat
secara agama. Tentang syarat administrative masih terdapat perbedaan pendapat.
Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang
menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum
positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Disebagian negara muslim, seperti
Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau
bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian, karena
perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative (hukum positif) akan
dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan
karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang
menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap
masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila
perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa
iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap
masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa
memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa
menghadirkan dua orang saksi dan wali.
Sehingga isteri yang sedang berada
dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak mewarisi
harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta
isterinya.
C. HUBUNGAN KARENA SEBAB AL-WALA’
Wala’ dalam pengertian syariat
adalah ;
1)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak.
2)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong
dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan
wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang
yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika
perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu
wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain
melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai
fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil
diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat
mewarisi hartamu dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut
menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua
disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang
memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta
peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula
Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :
Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
SEBAB-SEBAB YANG MENJADI
PENGHALANG KEWARISAN
Hal-hal yang dapat menyebabkan
seseorang terhalang untuk mewarisi
( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan
( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan
A. PERBUDAKAN
Perbudakan menjadi penghalang untuk
mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum yang menyatakan budak tidak memiliki
kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal ini berdasarkan surat al-Anfal ayat 75
:
Allah membuat perumpamaan dengan
seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap
sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75).
Mafhum ayat tersebut menjelaskan
bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik kebendaan dengan jalan
apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada ditangan tuannya. Dan status
kekerabatan dengan keluarganya sudah putus. Sebagaimana dinyatakan oleh Drs.
Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat mewarisi karena :
a. Ia dipandang tidak cakap
mengurusi harta milik;
b. Status kekeluargaannya terhadap
kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia sudah menjadi keluarga asing
(bukan keluarganya).
Menurut Ali Ahmad Al-Juejawy, budak
itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya bila tuannya meninggal,
disebabkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta milik bagi tuannya.
Kitab Undang-undang Kewarisan Mesir
tidak memuat pasal tentang penghalang mewarisi karena perbudakan, karena di
negara tersebut perbudakan dilarang oleh undang-undang.
Hal tersebut merupakan hal yang
sangat positif, karena pada hakikatnya Islam tidak menghendaki adanya
perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari gencarnya Islam
menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang diberikan kepada seseorang
berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia yang mempunyai harkat dan
martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun. Hal
tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam dating) budak diposisikan
dengan cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap
seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat memperhatikan keadaan
dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta (secara totalitas)
menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang sedemikian dapat juga kita
perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan dengan
bertahap.
B. PEMBUNUHAN
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris
terhadap al-muwarris menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian
kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup
beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang
membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap
orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta
peninggalannya.
Terhadap masalah ini, golongan
khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, menentang
pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran bersifat umum dan tidak
mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan hanya memberi petunjuk
umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya mengacu
pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal dalam hadis nabi Muhammad SAW.
adanya pengecualian terhadap pembunuh. Adapun dasar hukum yang dipergunakan
oleh mayoritas (jumhur) ulama yang menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi
adalah;
1. Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah SAW. bersabda : Barang
siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun
korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya. (Begitu juga) walaupun korban
itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak
menerima warisan. (H.R. Ahmad).
2. Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh
sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut,
maka secara jelas dinyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi harta orang yang
dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun tidak ada ahli waris lain selain dirinya,
ataupun yang dibunuhnya orang tua atau anaknya. Yang menjadi permasalahan
adalah, mengingat banyaknya jenis dan macam pembunuhan. Apakah secara
keseluruhan pembunuhan menjadi penghalang untuk mewarisi. Dalam hal ini ada
beberapa pendapat, yaitu :
C. BERLAINAN AGAMA
Terhadap orang yang berlainan agama,
maka hal tersebut dalam Islam menjadi penghalang mewarisi. Semisal seorang
muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis
rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir
tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab
Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan Ibnu majah) :
Tidak dapat saling mewarisi antara
dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini nabi Muhammad SAW.
ketika membagikan harta warisan paman beliau, Abu Thalib, orang yang cukup
berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang meninggal sebelum masuk Islam, oleh
nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafoir,
yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak-anaknya yang sudah masuk
Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Dalam hal ini terdapat permasalahan,
yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah meninggalnya orang yang mewarisi, dan
harta peninggalan (ketika ia masuk Islam) belum dibagikan. Ada beberapa
pendapat sebagai berikut :
1. Jumhur
ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi hartanya.
Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena) kematian
orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
2. Imam
Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut tidak
terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang sebelum
pembagian harta warisan.
3. Fuqaha
aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak terhalang,
karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara tetap,
sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris
0 Response to "makalah agama islam tentang kewarisan atau ahli waris"
Post a Comment